Sabtu, 21 Februari 2015

Touring Bogor- Kuningan

Setelah libur  touring selama beberapa bulan menunggu kondisi kesehatan suami  pulih pasca operasi tulang belakang di bulan November 2014 lalu, akhirnya aku dan suamiku, si Akang, bisa touring lagi.Yihaa! Alhamdulillah...

Mungkin bagi orang lain, touring  bukan sesuatu yang berarti. Tapi aku  mengerti bagaimana perasaan Akang yang sangat menggemari kegiatan ini. Lama tak touring membuat perasaannya hampa. Touring  menjadi sebuah ajang penyegaran atau refreshing bagi Akang, dan juga salah satu  sarana merekatkan kedekatan kami  sebagai pasangan suami istri.

Tujuan touring kali ini adalah Kuningan dan Baturraden. Hari Sabtu 7 Februari 2015, kami memulai perjalanan pukul 5.09 WIB.  Meluncur diatas Kawasaki Versys, kuda besi berkapasitas 650 CC, kami membelah udara pagi yang dingin. Desain tempat duduk yang mencapai tinggi 33 Inchi membuat pengendara dan “boncenger” motor  mampu menjangkau pandangan  luas. Bentuk ramping berdesain futuristik, setang lebar dan  posisi riding yang tegak membuat Akang merasa nyaman mengendarai motor ini di segala kondisi jalan.

Kami melaju menuju puncak. Udara dingin menampar wajah saat kubuka penutup helm. Dingin  terpaksa kutahan demi melihat lebih dekat jurang hijau, lereng berlapis pohon teh bertaut bukit-bukit yang tampak samar tertutup kabut. Indah. Aku tak pernah bosan menikmati kecantikan  yang tercipta dari perpaduan bentang alam berupa gunung, bukit, lembah, lereng, dan pepohonan hijau. Ada rasa tersendiri yang timbul setiap kali menatap pemandangan hijau asri seperti itu. Segar. Terasa tumbuh  semangat baru menghadapi hari.




Kami terus menelusuri jalan, melewati Cianjur, dan Padalarang. Jalan yang lumayan mulus dan masih lengang membuat laju si Kuning lancar. Kami berbagi jalan dengan para pengendara motor lainnya. Diantara mereka ada  yang membawa motor sarat dengan kardus-kardus makanan kecil. Di sisi jalan, sesekali tampak truk yang sedang dimuati pasir, warung yang baru dibuka, dan pedagang sayuran  memacu sepedanya. Sungguh terasa denyut nadi kehidupan telah dimulai pagi ini.



Aku berusaha sebanyak mungkin mengabadikan perjalanan kami lewat foto. Sungguh tak mudah memotret di atas motor yang melaju kencang. Kadang aku harus setengah berdiri menahan berat tubuh pada pijakan kaki untuk bisa memotret angle yang diinginkan. Kadangkala hasilnya kabur karena laju motor  tak kompak dengan camera yang   lambat menetapkan fokus. Atau hasil foto terlihat “miring” searah  posisi motor  yang tengah menikung di kelokan jalan.

Langit berwarna biru cantik menghias angkasa. Di depan sana aku melihat sebuah bukit hijau menyembul indah. Hijau bukit dan biru langit, perpaduan yang nyaman dipandang mata.




Pukul 8.23 kami melewati gapura Indung Rahayu, Purwakarta. Kami berjanji dengan Pak Yugen dan istrinya untuk bertemu di Purwakarta. Titik pertemuan yang dijanjikan adalah di dekat sebuah mall yang terletak di jalan menuju Subang.

Setelah bertanya pada beberapa pengendara motor, kami tiba disebuah perempatan jalan di mana mall yang menjadi titik temu terletak di sudut jalan. Kami mencari-cari beberapa saat sambil menghubungi Pak Yugen lewat ponsel. Aku sempat makan nasi dan minum teh panas di sebuah warung kecil, sementara Akang sibuk mencari-cari Pak Yugen. Belum selesai makanan kuhabiskan, Akang buru-buru mengajakku pergi.

“Ayo, Neng cepat. Kita salah arah, ternyata bukan di sini arah menuju Subang. Pak Yugen sudah menunggu di sana.”Seru Akang.

Setelah membayar makanan yang ternyata murah sekali, hanya 10 ribu rupian dengan dua macam lauk dan sayur, aku cepat-cepat menyusul Akang yang sudah siap di motornya. Kami berbalik arah lalu belok kiri. Di depan sebuah rumah makan Padang, Pak Yugen, istrinya dan seorang pria teman Pak Yugen,  sudah menanti kami.

Pak Yugen memperkenalkan temannya. Pria bertubuh langsing itu bernama Pak Anton. Dia membawa motor Harley Davidson tipe softails yang kinclong dan mulus. Motor ini berbentuk cukup unik, terlihat “kaku” seperti model motor pegunungan. Meskipun demikian bentuk motor tetap cantik, dengan shockbreaker yang tersembunyi di bagian belakang untuk menjamin kenyamanan pengendaranya. Motor ini berbobot lebih ringan dibandingkan  Harley Davidson type cruiser dan touring yang  memang berukuran lebih besar.

Senang bisa kembali touring bersama Pak Yugen dan istrinya. Terakhir kami touring bersama di bulan September 2014 ke Guci Tegal. Seperti touring yang lalu, Pak Yugen membawa motor BMW GS 1200-nya. Tampaknya sama seperti Akang, dia lebih suka membawa  motor bertipe adventure untuk touring berjarak jauh, dibandingkan membawa Harley Davidson. Motor adventure lebih bisa diandalkan menghadapi kondisi jalan di Indonesia yang tak selalu mulus.

Perjalanan berlanjut. Kami  menyusun barisan. Pak Yugen yang paling senior menjadi leader, disusul Pak Anton dan  Akang paling belakang. Touring paling ideal adalah  dengan rombongan kecil antara 2-5 motor. Dengan rombongan yang tak terlalu banyak, lebih mudah mengatur kecepatan dan kekompakan saat berkendara di jalan. Rombongan yang besar berpotensi mengganggu pengguna jalan  lain, dan lebih rawan terjadi kecelakaan. 

Pukul 9.10 WIB kami melaju menuju arah Subang  melewati pasar yang ramai dengan jalan penuh kendaraan. Lalu lintas padat merayap. Sesaat setelah melewati pasar, lalu lintas kembali lancar. Kami melewati jalan yang dinaungi pohon-pohon hijau dan rimbun. Geliat aktivitas warga makin kental terasa ketika kami berbagi jalan dengan rombongan sapi yang digiring  penggembala, pengendara motor yang memadati jok belakangnya dengan rumput gajah untuk pakan ternak, serta pedagang buah-buahan yang mengangkut rambutan dan durian di bak belakang motornya.



Pemandangan berganti menjadi  sawah yang tampak seperti  hamparan karpet hijau. Sementara jalan aspal pun berganti menjadi jalan beton. Setelah melewati jembatan  yang terbentang di atas sungai berair  coklat keruh,   kami menghadapi  jalan becek dan licin karena aspal yang mulai rusak. Kemudian jalan kembali mulus.



Kami istirahat shalat zuhur di sebuah SPBU di Indramayu. Rasanya lega bisa sejenak melepaskan pelindung siku dan lutut, sepatu boot, helm, masker dan jaket lalu membasuh wajah dengan air yang sejuk. Rasanya tentram bersujud mengungkapkan  segenap syukur dihadapanNya. Beberapa saat aku duduk santai di bawah pohon, mengobrol sambil makan tahu sumedang dan minum air putih yang banyak.

Sangat penting mengkonsumsi air yang cukup karena tubuh kehilangan banyak cairan lewat keringat saat touring.

Cara Paling Asyik Menikmati Hujan

Setelah melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan. Memasuki Majalengka, langit  berangsur kelabu. Matahari tertutup mendung yang menggulung di langit. Menyaksikan sawah hijau dengan bukit yang membayang samar dan langit buram kelabu menimbulkan perasaan yang sulit kuungkapkan. Antara romantis, syahdu, sendu,   tapi juga nyaman.




 Aku suka mendung. Cuaca ini membawa kesejukan. Matahari tak mampu menyorot dengan sinar garangnya karena terbelenggu awan kelabu. Dengan pakaian tertutup, bermasker dan full face helm, lebih nyaman rasanya melaju di jalan  bernaung langit mendung dibandingkan bertualang di bawah langit terang dengan sinar matahari yang mencorong panasnya. Setidaknya aku tak perlu resah apakah krim tabir surya yang kuoleskan  sudah cukup melindungi kulit dari terjangan matahari. Hehehe... sebagai cewek tetap harus memperhatikan  perawatan kulit.

Langit mendung berarti tak lama lagi hujan  turun. Dan dugaanku benar. Kami menghentikan motor di kawasan pasar Talaga, Majalengka. Butir-butir hujan berukuran besar menghantam bumi bagai tercurah dari langit. Aku berlari ke sebuah emperan toko,  berteduh sambil  duduk di bangku kayu.  Akang  terpaksa hujan-hujanan membuka box  motornya. Box itu dilengkapi kunci di dua sisinya hingga tak bisa cepat dibuka. Tak lama kemudian dengan baju basah dia berlari menghampiriku.

Akang mengangsurkan jas hujan ungu dan sepatu boot karet padaku. Kami cepat-cepat mengenakan jas hujan itu. Agak repot , karena aku harus melepas sepatu boot kulit terlebih dahulu dan menggantinya dengan sepatu boot karet. Pelindung lutut harus dibuka lalu dipasang lagi dengan posisi sebagian masuk kedalam boot karet. Ukuran jas hujan sengaja dipilih yang agak besar sehingga pelindung siku dan lutut  muat dikenakan di dalam jas hujan. Aku tak memakai masker karena  debu jalanan tak akan mengganggu kala hujan seperti ini.

Pak Yugen, istrinya dan Pak Anton tampak berteduh di sebuah warung tenda. Mereka juga mengganti jaketnya dengan jas hujan. Ketika semuanya telah siap, kami melanjutkan perjalanan menerjang hujan.
Butir-butir hujan makin menderas. Jarak pandang menjadi terbatas sehingga kami mengendarai motor lebih lambat.

Tahukah, kawan? Ada banyak cara menikmati hujan. Aku sudah mencoba berbagai cara menikmati romantisnya  derai bening hujan yang berjatuhan menyerbu bumi.

Di masa kecil, aku sering berlari-lari merayakan kegembiraan turunnya rahmat Tuhan berupa curahan air dari langit bersama anak-anak kampung di sekitar rumah kakekku di Bandar Lampung. Tapi cara itu seringkali berakhir lara, karena Mami, Nenek dan Kakekku marah. Mereka bilang aku akan demam bila main hujan-hujanan, dan kata-kata mereka terbukti benar. Tak heran,  tubuh kecilku lemah dan mudah sakit. Salah satu penyebabnya karena aku dulu susah makan, hingga daya tahan tubuhku pun lemah. Akhirnya aku lebih sering mengintip ulah teman-temanku mandi hujan dari balik jendela dengan perasaan tak berdaya.

Cara menikmati hujan yang lebih damai adalah berkumpul di kamar, uyel-uyelan di tempat tidur bersama Mami, alm. Papi dan adik-adikku.  Hujan deras disertai petir dan geledek sekali pun tak membuat hatiku ciut karena aku bisa “nyungsep” dalam pelukan Papi yang hangat. Sedih bila mengenang saat itu, karena Papi kini sudah berada dalam pelukan Penciptanya.. Semoga Papi bahagia di sana, Aamiin..

Ketika menginjak remaja, aku sering menikmati suasana hujan sambil mendengarkan lagu lama yang romatis  “You’re my everything “ –nya Santa Esmeralda sambil membayangkan seperti apa jodoh dan cinta sejatiku kelak.

Cara menikmati hujan yang standar juga sudah pernah aku lakukan. Memandang keluar jendela, mengawasi rintik hujan yang membasahi tanaman sambil minum teh panas dan ngemil makanan kecil lalu  membiarkan lamunan melayang jauh.

Setelah bertemu jodoh, tentu berbeda lagi cara menikmati hujan. Di awal masa pernikahan, kami masih tinggal terpisah  karena aku dan Akang bekerja di perusahaan yang berbeda. Kami mengerjakan proyek pembangunan Asamera Corridor Block Gas di tengah hutan Sumatera. Tempat tinggalku di mess perusahaan yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera, sementara Akang tinggal di mess perusahaannya yang berada di tengah hutan. Akang biasanya datang ke mess-ku dengan mengendarai motor, menjemputku. Lalu kami melewati malam romantis di sebuah penginapan di Simpang Tungkal. Pagi-pagi akang mengantar aku ke mess dan dia kembali ke kantornya.

Hujan adalah peristiwa yang sangat menyedihkan bagi kami saat itu. Turunnya derai hujan menghapus kesempatan kami bertemu. Tumpahan air dari langit  membuat jalan tanah merah  yang terbentang dari mess Akang di tengah hutan  menuju jalan raya berubah menjadi  becek, lengket,  licin dan bonyok melebihi bumbu pecel atau gado-gado. Kondisi jalan seperti itu tak bisa dilalui  motor atau mobil biasa. Hanya jenis mobil yang dilengkapi double gardan yang bisa terus melewati jalan. Itu pun masih beresiko mengalami terbalik karena licinnya jalan. Dan Akang tak punya mobil seperti itu. Jadi,ya begitulah. Bila hujan turun,  ada sepasang hati pengantin baru yang pedih dan pilu menatap hujan, tersiksa rindu tanpa daya menuntaskannya. Hehehe...

Tapi dari semua cara menikmati hujan, yang  paling terasa spektakuler adalah yang kini aku alami. Tubuhku terbalut pakaian berlapis jas hujan. Sepatu karet sempurna melindungi dan  menghangatkan kaki sementara kepala terlindung full face helm. Hatiku terasa melayang dibuai laju si Kuning yang tak kencang. Aku terduduk nyaman diboncengan pria separuh jiwa, menerjang rintik  yang derasnya tak tanggung-tanggung. Meski bulir air  menghujam ke arah wajah tapi butir-butir dingin itu tak mampu menyentuhku. Butiran bening   silih berganti  pecah di lapis transparan penutup helm, kemudian mengalir dan tumpah ke bawah. Bunyi rintik yang mengetuk-ngetuk helm, dan sepatu karetku terdengar seperti ritme yang menentramkan jiwa. Aku merasa “masuk” ke dalam hujan, menikmatinya secara maksimal  tanpa tersiksa dingin. Terpaan air dari genangan yang tergilas roda mobil dari arah yang berlawanan pun tak menggangguku, malah rasanya seperti kejutan-kejutan yang menyenangkan. Sungguh aku sangat menikmati touring dalam suasana hujan.

Aku tersenyum-senyum menatap hujan. Seandainya saat kecil dulu aku punya jas hujan, helm dan sepatu karet, tentu aku bisa selalu bergabung bersuka ria bersama anak-anak kampung teman masa kecilku. Menikmati setiap tetes hujan dengan keriangan tiada tara.  Aku tak akan terserang demam, meskipun dengan segala perlengkapan ini   penampilanku paling aneh sendiri.

Kueratkan pelukan ke pinggang Akang. Ada perasaan hangat yang mengaliri hatiku.  Menatap gulungan awan kelabu  tebal, hatiku bersyukur atas segala romantisme yang tercipta dari peristiwa alam  ini. Betapa hujan telah membawaku mengenang masa lalu yang berkesan, dan  membuatku merasa jatuh cinta lebih dalam lagi pada jodoh pilihanNya, Akang.

Melintas di Cikijing, hujan belum juga reda. Tampaknya hujan seperti ini akan terus berlangsung hingga malam, bahkan hingga berganti hari.

Tiba-tiba sebuah genangan air yang luas terpampang di depan kami. Jalanan banjir! Akang makin memperlambat laju si Kuning. Perlahan Pak Yugen melaju, dia memilih melewati bagian tengah jalan. Kami menunggu dengan hati berdebar. Jalan banjir seperti ini menyimpan potensi bahaya. Air menutup semua  permukaan jalan hingga tak terlihat apakah jalan  mulus, berlubang atau berbatu. Tak tampak pula  batas parit di pinggir jalan, karena itulah Pak Yugen memilih jalan dibagian tengah untuk menghindari motor terperosok ke parit.

Pak Yugen berhasil melewati genangan  dengan mulus. Sekarang giliran Pak Anton. Kami sedikit khawatir karena motornyalah yang paling rendah dibandingkan BMW dan Versys. Kami takut air yang lumayan tinggi membuat mesin motor padam.

Mesin motor  menggeram-geram, lalu Pak Anton bergerak perlahan  melewati setiap inchi genangan dengan hati-hati. Alhamdulillah motornya bisa lewat. Dan kami pun lewat tanpa masalah.

Akhirnya, diiringi hujan rintik-rintik kami tiba di Kuningan. Kami sempat salah jalan ketika bermaksud menuju kawasan Sangkanhurip. Setelah bertanya pada penduduk, kami berbalik arah dan akhirnya menemukan jalan yang tepat.

Di Kuningan, ada sebuah desa bernama Sangkanhurip yang menjadi lokasi berbagai tempat penginapan, mulai dari hotel berbintang, hotel melati  hingga penginapan sederhana. Desa Sangkanhurip memiliki sumber mata air panas alami. Ada tempat  pemandian air panas untuk umum, seperti kolam renang Cipanas. Tapi ada juga beberapa hotel berbintang yang memiliki fasilitas  spa dan kolam air panas alami, misalnya hotel Grage dan Hotel Tirta Sanita.

 Resort Prima Sangkanhurip 

Kali ini kami memilih menginap di Resort Prima. Resort ini terletak di kaki gunung Ciremai tepatnya di Jl. Panawuan no 121 Sangkanhurip, Kuningan. 



Hotel ini menyediakan kamar  deluxe, standard, superior, new superior dan bungalow yang berbentuk rumah kayu tradisional. Di bagian belakang hotel, deretan bungalow ditata seperti sebuah perkampungan dengan setting tahun 1928.  




Areal resort ini sangat luas, dilengkapi convention hall, lapangan tenis, kolam renang, masjid, areal bermain anak-anak, restaurant, tempat perkemahan, jogging track, fasilitas outbond, fishing dan taman yang luas. 



Ternyata kamar yang tersedia hanya ada satu bungalow yang terdiri dari dua kamar, dan satu kamar deluxe. Pas sekali. Bungalow untuk Pak Yugen, istrinya, aku dan Akang. Sedangkan Pak Anton mendapat kamar Deluxe .



Jam menunjukkan pukul 14.53 ketika kami memasuki bungalow yang berbentuk rumah kayu tradisional. Ada dua kamar, satu kamar mandi, satu dapur,  dan ruang tamu yang menjadi satu dengan  ruang makan.
Rasanya lega bisa melepas jas hujan, lalu mandi dan istirahat.

“Malam ini kita ke rumah Wak Eno yuk.”

Ajakan Akang itu kubalas dengan anggukan.

Almarhum kakek-nenek Akang dan ayah mertuaku berasal dari desa Setianegara yang letaknya di kaki gunung Ciremai tak jauh dari Sangkanhurip. Wak Eno adalah salah satu kerabat yang paling dekat dengan ayah mertuaku.

Tujuan kami touring ke Kuningan sebenarnya  ingin berziarah ke kubur almarhum kakek. Dimasa hidupnya, kakek dan nenek  yang dipanggil Abah dan Emak  sangat dekat dengan Akang . Desa Setianegara pun menyimpan banyak  kenangan manis saat Akang berkunjung ke rumah Abah dan Emak.

Sayang sekali hingga malam, hujan tak kunjung berhenti. Kami akhirnya mengurungkan niat pergi ke Setianegara sambil berharap esok pagi cuaca akan cerah.

Tempat Pemakaman Terindah

Tampaknya  awan mendung yang kemarin menggantung  tebal di langit telah tuntas dicurahkan seluruhnya ke bumi. Pagi yang cerah menyapa kami. Aku dan Akang siap berangkat menuju desa Setianegara.

Si Kuning melesat menelusuri jalan yang menanjak ke arah gunung Ciremai. Kami melewati gedung bersejarah tempat diselenggarakan perjanjian antara Republik Indonesia dengan pemerintahan Belanda tanggal 11-12 November 1946 yang disebut gedung perjanjian Linggarjati.


Rumah model Belanda itu pada tahun 1918 hanyalah sebuah gubuk sederhana milik seorang wanita bernama Jasitem. Kemudian di tahun 1921 gubuk tersebut dirombak menjadi bangunan semi permanen oleh seorang Belanda. Tahun 1930 rumah itu dirombak lagi menjadi bangunan permanen dan menjadi rumah tinggal  keluarga Van Os. Banguan itu pernah dijadikan hotel Rustoord, hotel Hokay Ryokan,  dan hotel Merdeka pada tahun 1945. Lalu pada tahun 1946 menjadi saksi sejarah dilaksanakanya perjanjian Linggarjati yang menghasilkan naskah Linggarjati. Sejak tahun 1976 bangunan ini ditetapkan sebagai museum memorial.

Kami tiba disebuah areal persawahan di mana ditengahnya terdapat  pemakaman penduduk. Beberapa pohon kamboja tumbuh di kiri-kanan jalan masuk seolah menjadi pintu gerbang. Di sinilah terdapat makam Abah.

Alhamdulillah hujan deras yang mengguyur hingga malam ternyata tak membuat tanah pemakaman becek.
Aku dan Akang segera menelusuri deretan batu nisan yang tersusun rapi, menuju makam Abah. Kami menemukan makam Abah terletak di undakan yang lebih rendah, tapi masih berada lebih tinggi dari persawahan. Makam Abah terlihat bersih dan terawat.



Aku dan Akang kemudian mendoakan Abah.  Aku tak sempat mengenal sosok Abah, karena Abah meninggal saat aku baru mengenal Akang. Tapi aku kenal Abah dari kisah-kisah yang mengalir dari mulut Akang, juga dari kedua mertua dan ipar-iparku. Lelaki bertubuh tinggi besar itu telah berjasa membuka jalan bagi anak cucunya meraih kehidupan yang baik. Kalau saja dia tak punya pikiran untuk pergi merantau sampai ke Palembang, mungkin kehidupan anak cucunya tak akan jauh berbeda dari penduduk desa Setianegara, menjadi petani yang menggarap kebun dan  sawah.



Abah yang tak pernah mengenyam bangku sekolah ternyata memiliki pemikiran yang maju. Dia sangat mementingkan pendidikan anak satu-satunya yaitu ayah mertuaku. Dia bekerja keras membiayai ayah mertuaku sekolah. Harapannya, ayah mertua bisa menjadi seorang insiyur. Tapi sayang sekali harapan itu pupus. Karena keterbatasan biaya, ayah mertuaku tak bisa kuliah di ITB meskipun sudah dinyatakan lulus ujian masuk perguruan tinggi teknik tersohor itu. Abah menangis  pilu karena biaya masuk ITB seharga motor vespa zaman itu tak mampu dipenuhinya.

Harapan Abah untuk memiliki keturunan yang menjadi insinyur terwujud ketika Akang menjadi sarjana teknik mesin. Betapa bangga Abah pada cucunya.

Bila mengenang kisah itu aku pun larut dalam haru. Di dalam  hati aku berterimakasih pada Abah. Tak lepas dari perjuangannya Abah juga, kami bisa memperoleh penghidupan yang jauh lebih baik.

Sepanjang hidup sudah lumayan banyak aku mengunjungi komplek pemakaman. Kebanyakan area pemakaman di Lampung,  Palembang dan Bogor terlihat semrawut. Apalagi di Palembang. Seringkali sulit menemukan lokasi makam tempat saudara atau kerabat dikuburkan, karena letak nisan seolah tumpang tindih tak beraturan. Belum lagi aura yang melingkupi area pemakaman membuat perasaan tak nyaman.

Berbeda dengan kompleks pemakaman yang lain, lokasi makam Abah adalah kuburan paling indah yang pernah aku kunjungi. Deretan nisan tersusun rapi tak semrawut. Lingkungan bersih terawat, ditambah lagi latar belakang gunung dan sawah yang cantik. Udara segar dan pemandangan indah membuat tak ada rasa ngeri atau perasaan tak enak. Semoga Abah tenang di alam sana. Aamiin..

Kemudian kami kembali meluncur, menyisir jalan mendaki ke arah gunung Ciremai hingga sampai di desa Setianegara. Kami mampir ke rumah Wak Eno.


Wak Eno dan istrinya,  Wak Eroh tengah duduk santai. Anak-anaknya, Tety dan Opi juga ada disana. Kami disuguhi white coffe dan makanan kecil tradisional, rempeyek dan keripik pisang.



Wak Eno dan Wak Eroh membagi kisah hidupnya yang sangat menarik. Ketika kebaikan menjadi investasi, seorang buruh bangunan dan tukang kayu seperti Wak Eno pun bisa meraih kesejahteraan hidup. Kisahnya ada di sini
Kami tak bisa terlalu lama ngobrol, karena sudah berjanji pada Pak Yugen dan Pak Anton, pukul 9 akan melanjutkan perjalanan ke Baturraden – Purwokerto.

Kami kembali ke bungalow, menikmati makan pagi di warung kopi 1928 bersama Pak Yugen, istrinya dan Pak Anton.

Pukul 9.08 WIB, setelah packing dan selesai mengurus administrasi hotel, kami berangkat menuju Baturraden.

Tidak ada komentar: