Kamis, 26 Juni 2014

Hebohnya Rumah Kakek

Aku dalam gendongan Nenek, bersama Om Yadi dan Tante Wita


Pengalaman masa kecilku tinggal di Bandar Lampung di sebuah rumah tua yang besar bersama kakek dan nenekku sungguh tak dapat kulupakan. Rumah tua itu panjang,  bagian depannya berada di Jl. Padjajaran (sekarang Jl. HOS Cokroaminoto) dan bagian belakangnya tembus ke sebuah jalan kecil di dekat rel kereta api. Ada 5 kamar dan satu loteng atau kamar yang sangat luas di lantai 2.  Di masa kecilku, penghuni rumah tua kakek semuanya ada 25 orang.  Mereka adalah  kakek dan nenekku, 11 orang anak-anaknya,   para menantu, adik-adik menantu,cucu-cucu, keponakan-keponakan kakek, bahkan teman-teman akrab om-omku juga ikut tinggal di rumah itu.

Karena ramainya penghuni rumah, terasa kehangatan dan kebersamaan yang sangat berkesan. Tidak ada pembantu di rumah kakekku, jadi semua pekerjaan rumah dikerjakan bersama . Ada Tante Cong,  yang pintar masak dan bertindak sebagai “chef” untuk makanan berat, dan ada tante Yati  yang khusus bertugas bikin kue dan cemilan.  Tante Ana dan Tante Iyah bertugas bersih-bersih rumah, mengisi belasan botol kaca bekas botol sirup dengan air putih lalu disimpan  di lemari es.   Om Picon  kebagian tugas mencuci piring. Sedangkan Om Ukang  bertugas sebagai “tukang” yang keahliannya memperbaiki jaringan listrik, alat-alat elektronik yang rusak, sampai menambal panci yang bocorpun bisa dilakukannya. Tante Nung yang pintar menjahit seringkali membuatkan aku baju, dia juga sering menjahit taplak meja untuk meja tamu dan meja makan. Bagaimana dengan aku? Meskipun masih kecil aku punya tugas juga.  Dengan sepeda miniku  aku meluncur ke warung membawa secarik kertas dari tanteku, yang  berisi daftar belanjaan seperti  bumbu-bumbu dan sayur yang harus dibeli. Tapi tugasku itu hanya sekali-sekali saja kulakukan, bila nenekku berhalangan pergi ke pasar.

Unik-unik sekali nama tante dan omku ya. Singkat dan lucu... Sebenarnya itu hanya nama panggilan saja.
Untuk urusan makan, kami tidak pernah kekurangan. Kakekku punya sawah dan ladang yang hasilnya lumayan.Kakek juga punya kebun cengkeh dan tanah yang luas. Setiap hari tante-tanteku memasak menyiapkan sedandang besar nasi, sekuali sambal,  dan sepanci besar sayuran. Lauknya bagaimana? Tentu saja ada. Tapi khusus untuk lauk,  buah dan cemilan, ditangani oleh mamiku. Ya, mami adalah anak tertua kakek. Dia bertugas membagi dengan adil lauk pauk, buah dan cemilan. Jadi setiap hari ada nampan-nampan besar berisi 23 tumpuk makanan. Hal ini harus dilakukan supaya semua anggota keluarga kebagian makanan.  Kalau hari itu menunya ikan goreng, maka akan ada 23 potong ikan goreng di nampan. Setiap orang berhak mengambil satu potong. Demikian juga dengan kue dan  buah-buahan. Bila kakek membeli  buah duku satu karung, maka mamiku akan membagi-bagi  menjadi 23 tumpuk duku yang diletakkan di nampan-nampan besar. Kenapa hanya 23 tumpuk? Ya karena 2 bagian lagi dengan porsi istimewa sudah dipisahkan lebih dulu untuk kakek dan nenekku sebagai pemimpin keluarga besar.

Uniknya, memilih tumpukan makanan atau buah kadangkala bukanlah urusan mudah. Kami akan melihat, menimbang dan mengira-ngira tumpukan mana yang paling banyak isinya, padahal mamiku sudah membagi sama rata.

Aku ingat salah satu omku yang suka iseng. Namanya om Yadi.  Bila ada pembagian kue atau roti, dia akan menyimpan dulu jatahnya. Bila semua orang sudah memakan bagiannya, termasuk juga aku, maka dia akan mengeluarkan kue simpanannya dan memakannya sedikit-sedikit sambil mencium-ciumkan wangi kue itu di depan hidungku supaya aku ngiler kepingin makan kuenya. Tapi biar aku menangis keras sekalipun, dia takkan sudi membagi kue jatahnya padaku. Sebaliknya dia akan tertawa-tawa puas melihat aku merengek dan menangis.  Hahaha..

Tanteku yang paling bungsu bernama Tante Wita. Usianya 3 tahun lebih tua dari aku. Dia punya kebiasaan unik yang dilakukannya setiap pagi setelah bangun tidur, yaitu menangis tersedu-sedu tanpa sebab yang jelas. Aku seringkali duduk menemani aktivitas rutinnya itu sambil bengong memandanginya.   Tangisnya akan berhenti sendiri setelah dia lelah dan merasa lega.

Di saat tanggal muda tiba, Om Keren  yang sudah bekerja akan memanggil mang Kumis, tukang bakso yang sering lewat di depan rumah. Wajah mang Kumis berseri-seri, melayani permintaan  tante-tante dan om-omku yang cerewet, minta sambel yang banyak, tidak pakai mie kuning, ataupun minta tambah sayur dan kuah baksonya. Hatinya girang bukan kepalang karena sudah pasti 25 mangkuk baksonya diborong untuk seluruh anggota keluarga besarku.

Tukang mie tek-tek dan kue putupun kerap kali kecipratan rezeki bila tante Yati gajian.  Setiap tanggal muda jam 9 malam, mamang mie tek-tek dan kue putu akan mangkal di depan rumah, menunggu serbuan kami.
Kalau malam tiba, teras belakang rumah kakekku akan ramai oleh anggota keluarga yang duduk di kursi rotan, berkumpul  sambil mengobrol dan bercanda. Dari main tebak-tebakan, berbagi cerita keseharian, sampai menikmati “live music” persembahan om Jendol dan Om Yanto, adik-adik papiku, yang lihai bermain gitar. Dan penyanyinya siapa lagi kalau bukan aku... hehehe..

Bila ada acara TV yang menarik, kami akan berkumpul di ruang keluarga yang besar sambil menonton TV hitam-putih berukuran 20 Inchi. Waktu itu TV adalah barang mewah yang masih jarang dimiliki orang.
Yang paling seru adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Hanya di bulan istimewa inilah seluruh keluarga bisa makan bersama saat buka puasa dan sahur. Di hari-hari biasa, karena kesibukan yang berbeda, kami jarang bisa makan bersama.

 Jam 3 dini hari, tante-tante yang bertugas memasak akan menyiapkan hidangan sahur. Setelah siap, salah satu omku, namanya Om Acah,  akan berkeliling  dari kamar ke kamar membangunkan anggota keluarga yang lain untuk makan sahur bersama.  Saat itu aku  tidur bersama 6 orang tanteku di loteng atau kamar yang sangat luas di lantai 2. Kami tidur di kasur kapuk ukuran single yang disusun berderet-deret di lantai. Om Acah paling kesal bila harus membangunkan kami satu persatu, karena  kemudian kami tidur lagi. Hingga dia harus mengulang 2 sampai 3 kali, barulah  bisa membuat kami turun ke ruang makan.

Dia sudah mencoba beberapa cara, misalnya dengan menggelitik telapak kaki kami, atau mencipratkan air di wajah kami, tapi masih saja tidak mempan membuat pekerjaannya sukses. Om Acah lalu memutar otak mencari cara cepat membangunkan kami. Suatu kali dia berteriak,” Kebakaran! Kebakaran! Banguuun!”  Mendengar teriakannya kami bangun dengan panik  lalu  lari tunggang- langgang turun ke ruang makan, sementara om Acah terpingkal-pingkal. Sayangnya hanya satu kali saja cara itu berhasil. Kedua kalinya, kami sudah tahu bahwa teriakannya hanya bohong belaka.

Tak habis akal, om Acah menemukan cara jitu lain untuk membangunkan kami. Dengan mengendap-endap dia masuk ke kamar, menarik napas dalam-dalam, mengerahkan segenap tenaganya, lalu “ Priiiittt!!!!” bunyi  nyaring bukan kepalang memekik dari peluit pramuka yang ditiupnya kuat-kuat. Tujuh orang yang sedang tidur dengan lelapnya  serempak  terduduk kaget sambil menutup telinga. Peluit nyaring itu terus ditiupnya sampai kami tersuruk-suruk berlari turun ke ruang makan. Tampaknya cara jitu itu tak pernah gagal. Om Acah akan bertolak pinggang dengan wajah sumringah,   sangat puas dengan keberhasilannya.

Suasana hangat rumah tua kakekku selalu kurindukan.  Sayang sekali kakek dan nenekku kini telah tiada. Tapi  indahnya kebersamaan di rumah itu akan selalu hidup dalam kenanganku..


4 komentar:

Lidya Fitrian mengatakan...

aku juga pernah mengalami nonton tv hitam putih mbak dulu watu kecil di rumah kakek

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

hehe...zaman dulu punya tv hitam putih itu berasa keren abis ya...

Unknown mengatakan...

wah seruu ya wi, jadi inget suasana rumah disana...rame

Unknown mengatakan...

wah seruuu ya wi, jadi inget suasana disana...