Minggu, 19 April 2015

Touring dari Bogor ke Palembang

Jembatan Ampera


Ini kisahku saat touring di bulan Juni 2014. Berhari-hari mendiskusikan tujuan touring  antara Garut, Purwokerto atau Ciwidey,  akhirnya aku dan suamiku, si Akang  memutuskan Palembanglah yang menjadi tujuan touring kali ini. Lho kok? 

Pertimbangannya adalah ingin touring dengan route menyeberang lautan dan juga sekaligus ingin melepas rindu pada keluarga besar kami di Palembang. 


Persiapan seperti biasa kami lakukan.  Kali ini  kami touring menggunakan motor berjenis enduro adventure berkapasitas mesin 650 cc. Informasi mengenai jalan yang rusak dan titik-titik kemacetan yang akan kami lalui membuat kami memilih motor jenis ini. 

Pengalaman lalu, ketika membawa motor berjenis cruiser atau touring yang berkapasitas mesin 1500 cc,  sulit bila berhadapan dengan jalan rusak, berlubang parah, apalagi berbatu-batu besar. Motor jenis cruiser pada dasarnya didesain untuk jalan  mulus. Belum lagi bila  menghadapi kemacetan lalu lintas, motor yang berbobot 400-an kg  benar-benar membuat pengendaranya mengerahkan tenaga ekstra. Apalagi kalau ada yang duduk di boncengannya, tambah lagi dong tenaga ekstra yang harus dikerahkan sang pengendara.

 Jadi ingat saat touring ke Jogjakarta, kami sempat terjebak macet di Jl. Soekarno Hatta Bandung. Terbayang bagaimana perjuangan si Akang menahan  beban menegakkan  motor besar  ditambah bobot tubuhku dan barang bawaan.  Beban itu harus ditanggung selama puluhan menit saat terhenti di tengah jalan yang dipadati motor-motor bebek dan angkot yang berdesakan. 

Kalau membayangkan hal itu lagi, pasti si Akang akan mengelap keringet sambil bilang “Fiuuuh....! Capek  deh.”

 Sementara  aku sih tidak merasa.  Aku kan hanya duduk manis saja di boncengan, sambil sesekali  memijat  pundak Akang, dan  melontarkan pertanyaan bodoh.

 “Capek, ya sayang? “

 Hehehe...

Usai shalat subuh, segelas air hangat yang dicampur madu menghangatkan perut kami. Untaian doa kami ucapkan sebelum memulai perjalanan, memohon keselamatan dan perlindunganNya.  Ketika jam menunjukan pukul 5.00 WIB, roda motor mulai menggilas aspal melaju membelah  udara pagi.
Setelah mengisi tangki bahan bakarsi Kuning hingga penuh di jalan Pahlawan Bogor, kami menyusuri jalan sambil menikmati suasana menjelang pagi. Beberapa laki-laki berpeci berjalan beriringan pulang dari masjid. Jalanan masih lengang, hanya sesekali angkutan kota melintas dengan jumlah penumpang satu atau dua orang. 

Kami melewati jalan Raya Gunung Batu, melintasi kampus IPB di daerah Dramaga, terus ke jalan Warung Bogor Ciampea,  dan jalan Raya Bogor-Leuwiliang. Tiba di jalan Raya Sadeng, laju motor tersendat karena ada perbaikan jalan. Kendaraan yang lewat harus bergiliran, karena jalur yang dapat dilalui hanya satu. Untung saja hari masih pagi, sehingga jumlah kendaraan yang lewat tak banyak.
Tiba di simpang Leuwiliang - Kampung Sawah, Akang agak bimbang menentukan arah.  Biasanya dia melalui jalan yang besar, tapi GPS menunjukkan  jalan yang lebih kecil. Akhirnya Akang memilih ikut petunjuk GPS, yaitu masuk ke Jl. Letnan Sayuti.

Jalan itu jalan desa. Di kiri kanan  terdapat deretan rumah penduduk, sawah yang hijau, sekolah, warung-warung, puskesmas, dan fasilitas desa lainnya. Jalan itu sangat panjang, di beberapa titik  terdapat tikungan sementara di sisi kiri berjejer  pohon-pohon bambu. 

Udara segar mengisi rongga dadaku, sesekali aku mencium bau masakan dari rumah-rumah penduduk yang sudah memulai aktivitasnya. Bau ikan asin goreng,  dan ubi rebus... mmmm...

Lalu  terdapat kerusakan jalan yang parah mulai dari jalan yang becek berbatu,  berlubang dan tergenang air berwarna coklat, hingga ada yang membentuk kolam hingga tak terlihat seberapa dalamnya. 
Melewati jalan rusak


Akang dengan hati-hati memperlambat laju motor dan berusaha menjaga agar tetap stabil. Aku yang duduk di boncengan tak terlalu terganggu dengan kondisi jalan itu, mungkin karena aku menikmati setiap detik perjalanan, atau karena suspensi motor yang nyaman tak sampai menyiksaku dengan guncangan-guncangan kuat.

Tiba disebuah persimpangan jalan, GPS menunjukkan arah belok kiri, ke arah Cisoka. Kami masuk ke jalan beton yang tampak masih baru,mulus dan sepi.  Di sisi kanan dan kiri terhampar lapangan luas.  Akang memacu motor dengan kecepatan 90- 100 km/ jam. 

“Asyiik! Kalau jalannya begini terus kita pasti cepat sampai!” Seruku kegirangan.

Jalan beton berujung jebakan batman

Rupanya  jalan mulus itu singkat saja. Beton mulus   tiba-tiba terputus, berganti dengan genangan air berwarna coklat dengan batu-batu mencuat dari aspal yang rusak.

Akang ragu-ragu sejenak, dia tak dapat menduga seberapa dalam genangan air itu. Lalu dia mengambil jalan  pinggir, karena mengira bagian pinggir lebih rata daripada bagian tengah jalan.
Lalu,... ups... ternyata kami masuk jebakan batman!  Tanah di pinggir jalan itu bonyok. Motor pun terperosok, tak mampu bergerak terkungkung tanah berlumpur. 

“Turun, Neng!” Seru si Akang.

Di sisi kiriku terdapat batu-batu yang mencuat lebih tinggi dari genangan air. Dengan sigap aku melompat, dan sukses mendaratkan kakiku di batu-batu itu. Aku menjauh dari motor, sementara  Akang berusaha membebaskan motornya dengan meng-gas kuat-kuat. Akibatnya putaran roda membuat  lumpur bercipratan kemana-mana mengotori bagian bawah motor, celana Akang hingga side box, sementara motor  sama sekali tak bergerak . 

Terperrosok lumpur

Akang memadamkan mesin motor, lalu berusaha mendorong motor keluar dari kepungan lumpur.  Tapi gagal total. Bobot motor yang 206 kg ditambah berat side box tak mampu ditanggungnya sendirian.

Setelah sering bepergian berdua, aku belajar bersikap sebagai seorang “boncenger” dan  pendamping yang baik . Dalam  keadaan tak menyenangkan seperti ini, yang tidak boleh dilakukan adalah menampakkan wajah cemberut, mengeluh, bawel, manja, cengeng apalagi marah-marah menyalahkan Akang sebagai pengendara yang salah pilih jalan. 

Lalu harus bagaimana?  Membantu sebisanya, dan  tenang saja. Tidak bersikap menyebalkan disaat-saat sulit   sudah merupakan hal yang sangat membantu bagi Akang.

Seorang lelaki dengan motor bebek datang dari arah berlawanan. 

“ Pak, tolong bantu saya mendorong motor.” Seru Akang.

“Oh, iya, Pak. Sebentar ya. “ Jawabnya.

Lelaki itu segera menepikan motornya. Lalu datang lagi dua anak muda yang berboncengan dengan motor bebek. Anak-anak muda itu memakai sepatu kets, salah satunya berwarna putih bersih, tapi mereka baik sekali!  Tak takut sepatunya jadi kotor, tanpa diminta mereka langsung bergabung membantu mendorong motor .
Aksi pembebasan si Kuning


Dengan tenaga 4 laki-laki, sebentar saja motor itu terbebas dari lumpur. Alhamdulillah... Senangnya bertemu dengan orang-orang yang suka menolong. Aku dan Akang langsung sumringah dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Para penolong pun segera berlalu, melanjutkan perjalanannya.
Si Kuning, motor kami, ditepikan di sisi jalan. Kami berdua celingukan kebingungan. Si Kuning kotor sekali!  Bagaimana bisa duduk di jok yang penuh noktah lumpur?

Setelah terbebas dari lumpur

Aku membuka tas dibagian badan motor, mengambil tisu basah. Lalu mulai membersihkan bagian jok. Tapi butuh berlembar-lembar kertas tisu untuk membersihkan hingga jok layak di duduki. Bagaimana dengan bagian tutup side box? Kalau tak dibersihkan pasti bajuku ikut terkena lumpur.
Beberapa motor  dan mobil  melintas.

“ Ada apa Mbak? Jatuh ya? Luka nggak? “ Tanya seorang lelaki dari atas motor yang melaju pelan.

“Kenapa, Pak? Ada yang bisa dibantu?” Tanya seorang bapak yang melongokkan kepala dari balik jendela mobilnya.

Hihihi... aku dipanggil “ Mbak” sementara si Akang dipanggil “ Pak”. Berasa awet muda dong...
Seorang anak muda berkaos putih mengendarai motor berteriak.” Disana ada air bersih, Pak! Itu di pinggir lapangan. Bawa saja motornya kesana. Cuci disana saja.” 

Sungguh hebat efek yang dihasilkan oleh sebuah tindakan bernama “perhatian”. Kami yang sempat terhenyak lesu melihat lumpur yang mengotori motor kembali bersemangat. Tentu akan beda rasanya bila orang-orang yang melihat  kami hanya diam dan berlalu. Oh.. I love Indonesia, inilah keramah-tamahan dan sifat penolong yang menjadi pribadi bangsaku.

Setelah mencuci tangan dan membersihkan lumpur di sepatu serta bagian belakang celana di sumber air bersih , Akang  memutuskan segera melanjutkan perjalanan, meski si Kuning masih berhias lumpur. 

Tak lama, kami melewati sebuah tempat yang merupakan bagian dari areal perumahan bernama Taman Adhiyasa, Cisoka. Jalan yang rusak dihadapan kami kali ini tak main-main. Genangan air berwarna coklat keruh membentuk kolam yang menghabiskan seluruh badan jalan kecuali sedikit sisa aspal selebar 50 cm di bagian  kanan pinggir  jalan. Aspal selebar 50 cm itu panjangnya sekitar 20 m.
Agak ngeri dan masih dibayangi peristiwa terperosok  tadi, Akang memintaku turun lagi dari motor. Aku berjalan di belakang motor sambil berdebar-debar melihat Akang pelan-pelan melalui aspal sempit itu. 

“Semoga tidak terpeleset.” Bisikku dalam hati.

Syukurlah, jalan itu bisa dilalui. Di ujung jalan rusak itu telah berderet-deret motor menanti giliran lewat jalan “sirkus” itu. Ah...leganya...

Setelah itu masih ada beberapa titik jalan rusak yang kami lalui. Bahkan masyarakat “menanam” batang pohon  yang digantungi kardus-kardus dan botol plastik bekas minuman di salah satu lubang jalan, sebagai bentuk protes pada pemerintah akan parahnya kondisi jalan itu. 

Memasuki Jl. Raya Serang, kami beberapa kali menjumpai jalan tersendat akibat antrian kendaraan yang padat. Truk-truk besar dan trailer bercampur angkot dan sepeda motor antri di dua jalur. Tapi tak lama kemudian kembali lancar.

Matahari sudah menampakkan kehangatannya, hingga kami merasa haus. Kami memutuskan berhenti untuk istirahat sejenak di sebuah mini market yang terletak tepat di depan kantor polisi sektor  Cikande. 

Aku membeli air isotonik dan mengantri di sebuah mesin ATM. Tapi sayang, ATM itu rusak.

“ATM-nya rusak, Pak. Tak bisa ambil uang.” Ujarku pada beberapa orang bapak yang mengantri di belakangku. Kontan antrian bubar, kecuali seorang ibu yang akan mentrasfer dana.

Keluar dari mini market, Akang memberiku  2 potong roti gandum berselai coklat. Roti itu cepat-cepat kuhabiskan, berikut sebotol minuman isotonik. 

Perjalanan berlanjut.  Di jalan  Raya Serang km 35 laju motor tersendat karena antrian kendaraan di dua sisi jalan. Berbagai macam truk, trailer, dan angkot berjejer dalam antrian sementara motor-motor berjejalan di sela-sela kendaraan besar. 

Macet

Untunglah tak terlalu lama kami bisa terbebas dari antrian itu. Jalan-jalan utama di Serang lebar dan mulus. Perjalanan selanjutnya  menuju Cilegon  dan Merak  berjalan lancar.

Gerbang Cilegon


Ketika aku melihat birunya laut, rasa senang sekali. Kami berhenti sebentar di tepi jalan sebelum memasuki pelabuhan Merak. Si Akang mengarahkan cameranya mengambil fotoku dan si Kuning. 

Pukul 9. 38 kami tiba di  pelabuhan Merak. Setelah membayar tarif  naik kapal untuk  motor  sebesar Rp. 93.000,-.kami menunggu di bagian depan antrian kendaraan . Beberapa saat kemudian, setelah sempat ke toilet di dekat dermaga, barulah tiba giliran kami naik ke kapal.

Naik meuju kapal ferry

Setelah memarkir motor  di geladak, berjejer dengan motor-motor lain, kami berdua naik ke anjungan menuju ke ruang penumpang eksekutif.

Ruangan itu  nyaman. Kursi-kursi lebar yang empuk  berbentuk segiempat  cukup nyaman untuk istirahat. Tubuh kami yang terpapar panasnya sinar matahari terasa “nyess” ketika berbaur dengan hawa sejuk dari pendingin ruangan.



Seorang laki-laki berambut gondrong memainkan keyboard-nya. Sambil memainkan musik, dia menyapa penumpang  di ruang eksekutif itu.

“Bapak-Bapak, Ibu-ibu selamat siang. Saya akan menemani perjalanan anda dengan lagu-lagu favourite anda. Silahkan yang ingin menyanyi, menyumbangkan suara emas-nya, saya akan mengiringi dengan musik. Mari silahkan, Pak.. Bu...”

Si Gondrong itu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, tapi yang ditemuinya hanya wajah-wajah kuyu kelelahan.

“Neng, kenapa Neng nggak nyanyi?” Bisik Akang.

“Ogah, ngantuk. Neng tidur ya.” Sejenak kemudian aku sudah terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur, hingga terbangun kala mendengar suara si Gondrong menyanyikan lagu Broery, entah apa judulnya. Yang jelas ada syair yang menyebutkan  “ buah semangka berdaun sirih”. 

Kasihan sekali si Gondrong ini, sejak tadi menawar-nawarkan para penumpang untuk menyanyi tapi tak ada satu pun yang berminat. Terpaksalah dia sendiri yang menyanyi sepanjang perjalanan menyebrang ke Bakauheni.

Penyeberangan Merak-Bakauheni yang biasanya memakan waktu 2,5- 3 jam, ternyata molor sampai 4 jam karenan kapal harus antri untuk merapat di dermaga. Ketika akhirnya kapal berlabuh, aku dan Akang turun ke geladak bersiap-siap melanjutkan perjalanan. 

Si Kuning yang tampak berbeda sendiri di tengah deretan motor-motor lain menarik perhatian para penumpang.  Beberapa pria dan seorang wanita setengah baya yang juga bepergian dengan motor mengerubungi kami sambil melihat-lihat dan meraba si Kuning. Mereka menyapa kami, mengajak ngobrol.

 
Bersama si Kuning

“ Motornya berapa cc, Mas?”

“ Darimana, dan mau  touring kemana?”

“Sudah pernah touring kemana saja?”

“Mana rombongannya?”

“Susah nggak handlingnya?”

“Motornya gagah. Berat nggak bawanya?”

Aku terkikik. Ya, tentu saja berat kalau dibawa, tapi kalau di kendarai kan nyaman... 

Kaki kami menjejak pulau Sumatera  pukul 13.25 WIB.  Menyusuri jalan lintas Sumatera terasa berbeda  suasananya dengan jalan-jalan di Jawa. Pemandangan di kiri kanan jalan banyak dihiasi rawa-rawa, tak seindah pemandangan di Jawa. Tapi jalan lebih sepi, tak ada kemacetan. 

Kami mampir ke sebuah pom bensin, tapi sayang di pom bensin ini tak tersedia bahan bakar pertamax. Terpaksa si Kuning di beri “minum” sedikit premium. Sumatera berbeda dengan  Jawa. Di Jawa lebih mudah memperoleh pertamax di sepanjang jalan lintas pulau.  Aku dan akang  melaksanakan shalat zuhur dan ashar jamak takdim berjamaah. Sayang sekali Akang tak sempat melakukan shalat Jumat karena di kapal meski ada musholla  tak diselenggarakan shalat Jumat di sana. 

Perjalanan berlanjut.  Perut kami lapar. Hanya saja mencari rumah makan yang layak di jalan lintas Timur Sumatera tidak semudah di Jawa. Kebanyakan di sini hanya rumah makan kecil yang tampak kurang bersih. Akhirnya setelah jam menunjukkan pukul 14.30 kami berhenti di sebuah rumah makan besar di daerah Ketapang. Rumah Makan  Tiga Saudara, begitulah namanya.

RM Tiga Saudara

Menu Makan Siang

Rumah Makan ini memiliki lahan parkir yang luas. Akang memarkir si Kuning di dekat pintu masuk. Kami memilih tempat duduk terdekat dengan pintu. Lalu pelayan segera menghindangkan makanan.
Aku dan Akang memilih ayam dan rendang, dimakan dengan setengah piring nasi, lalapan dan sambal. Kami juga memesan secangkir white coffe sebenagai “booster” yang memperbaiki mood dan menghalau kantuk.

Kami melanjutkan perjalanan dengan energi baru. Rasanya semangat kembali bangkit, meski pemandangan di sepanjang jalan tidak menarik. Akang memacu si Kuning dengan kecepatan bervariasi antara 80-100 km/jam melalui jalan yang sepi.  

Sebelum memasuki Sukadana kami dihadang jalan buruk. Batu-batu gravel mencuat dari aspal yang rusak, tanah bercampur air coklat keruh menggenangi jalan. Akang meliuk-liukkan si Kuning memilih jalan dan mengindari batuan serta jalan berlubang. 

Kemudian kami dihadapkan pada pilihan sulit. Genangan air keruh meyerupai “kolam” menganga di seluruh permukaan jalan.  Benar-benar tak ada pilihan. Aku dan Akang khawatir si Kuning kembali terperosok seperti saat melewati Cisoka. 

Jalan rusak membentuk kolam berair keruh


“Neng turun saja ya, Kang.” Ujarku cemas. Aku takut berat tubuhku  membebani si Kuning melewati jalan buruk.

Akang menghentikan si Kuning ketika lajunya hampir menyentuh bibir “kolam” keruh itu.

“Neng mau jalan lewat halaman rumah itu ya. Mudah-mudahan si Kuning bisa lewat dengan selamat. Nanti tunggu Neng di ujung sana.” 

Aku melangkah masuk ke halaman rumah itu. Seorang ibu sedang membabat rumput  yang tumbuh mengganggu tanaman bunganya. Beberapa anak laki-laki berlarian sambil tertawa-tawa.

“ Ibu, permisi.Saya numpang lewat ya. Jalannya becek. “ Ucapku sambil tersenyum.

“Oya, silahkan. Naik motor ya? Dari mana mau ke mana, Dik? “ Tanya si Ibu.

“Terimakasih, Bu. Saya dari Bogor mau ke Palembang. “ Jawabanku disambut gelengan kepala si Ibu.

“Jauh sekali. Kamu kuat? “ Ucap si Ibu.

Aku tertawa.

Seorang anak laki-laki mendekat.

“Foto kami, Kak... Foto kami!” Pintanya ketika dia melihat camera yang kubawa.

“Oke!  Ayo sini dipotret. “ Aku mengarahkan lensa camera pada anak lelaki, adik-adik dan neneknya.

Keceriaan aanak-anak  yang menulari aku

Mereka tertawa-tawa gembira dan bergaya di depan cameraku. Aku menjepret aksi mereka beberapa kali. Sungguh ajaib efek yang ditimbulkan ekspresi wajah riang anak-anak ini. Meski  aku tak mengenal mereka, dan kami mungkin tak pernah bertemu lagi setelah ini, tapi tawa , raut wajah riang dan kepolosan   mereka  membuat moodku bangkit. Aku tersentuh. Anak-anak ini mungkin tak akan pernah melihat hasil fotoku. Tapi mereka sudah meninggalkan seberkas kenangan  manis. Mereka mewarnai dokumentasi perjalanan touringku dan  membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.

Aku melambaikan tangan ke arah mereka. Kupercepat langkah menghampiri Akang yang sudah menunggu di ujung jalan rusak. Syukurlah si Kuning bisa melewati kolam keruh itu dengan selamat. Anak-anak itu berlari-lari mengiringi langkahku, berteriak-teriak dan membalas lambaian dengan  penuh semangat.

“Selamat tinggal teman-teman kecil..”

Kami melewati Sukadana dan Menggala. Ketika memasuki wilayah Tulang Bawang hari sudah berangsur gelap. Pukul 17.50 kami memutuskan berhenti di sebuah pom bensin untuk melaksanakan shalat maghrib.

Alhamdulillah, Pom bensin yang terletak di Indraloka Tulang Bawang ini terdapat bahan bakar pertamax. Akang segera mengisi full tangki si Kuning yang berkapasitas 18 liter agar kami tak was-was di jalan karena takut kehabisan bahan bakar.

Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika kami kembali menggilas jalan. Kami melalui Mesuji Lampung, Mesuji Sumsel, Lempuing, Pematang Panggang, Teluk Gelam,  dan Kayu Agung. Di Tanjung Raja, pukul 20.35 WIB kami istirahat sebentar  untuk minum di sebuah mini market.

Perjalanan selanjutnya menuju Indralaya. Di wilayah ini ketahanan kami kembali diuji. Kali ini dengan kemacetan yang panjangnya berkilo-kilo meter. Akang dengan sabar mencari celah diantara truk-truk, bus dan mobil pribadi yang mengular. Sebisa mungkin dia mengambil jalur kanan memanfaatkan celah antara dua arus kendaraan yang berlawanan. Sedikit demi sedikit kami terus maju dan akhirnya bisa terbebas dari antrian panjang itu.

Pukul 22.45 kami memasuki kota Palembang.  Kami melewati daerah Polygon, Jalan Parameswara, Jalan Demang Lebar Daun dan Jalan Basuki Rahmat.

Di simpang empat Kenten, aku meminta Akang berhenti untuk membeli martabak telur bumbu kari. Rasanya rindu sekali mencicipi makanan itu.

Seorang wanita keturunan India menyambut kami. Melihat si Kuning yang bernomor plat Bogor, dia langsung mengajak kami berbicara dengan bahasa Sunda.

Aku tertawa-tawa.

“Aduh Ibu, aku nyerah. Aku nggak bisa bahasa Sunda. Kami memang tinggal di Bogor , tapi lebih lama tinggal di Palembang. “ Sahutku.

“Oo... Saya dulu lama di Bandung. Masih fasih bahasa Sunda.” Sahut si Ibu.

Sementara dia meracik martabak pesanan kami, aku duduk sambil melihat-lihat kedai martabaknya. Sebuah foto pria muda yang terpajang di dinding kedai itu membuatku berseru.

“Aku kenal orang di foto ini, Bu. Kami langganan sering cetak foto di tempatnya di Bogor. Ini saudara, Ibu ya? “ Tanyaku antusias.

“Ini sepupu saya. Dia memang tinggal di Bogor. “ Si Ibu makin semangat. Lalu mengalirlah kisahnya tentang pemuda itu. Pria muda yang rupanya sepupu si Ibu termasuk pengusaha sukses dalam keluarga besarnya.



Gara-gara mengenali sepupu si Ibu penjual martabak, akhirnya kami dapat discount saat membayar martabak pesanan kami. Cihuy!!

Pukul 23.05 kami tiba dirumah mertuaku. Senyum Ayah dan peluk Ibu mertuaku terasa menghapus segala kepenatan kami setelah  melalui  663 Km jarak yang terbentang antara Bogor dan Palembang. Alhamdulillah...

Ikuti cerita selanjutnya : SATU HARI DI PALEMBANG (TOURING BOGOR-PALEMBANG)

Tidak ada komentar: